Gagal, Lalu Memulai Lagi

fail
photo by BK Chua

Saya pernah gagal dalam kuliah S3 di negara selatan sana.

Iya, gagal.  Well, secara teknis saya mengundurkan diri dari program PhD di universitas nomor 33 sedunia itu sih. Tapi jauh di lubuk hati saya, saya tahu saya gagal karena tak mampu memenuhi target menyelesaikan tiga bab pertama disertasi dalam jangka waktu setahun.

Ada banyak yang menyayangkan karena saya menyia-nyiakan kesempatan studi di luar negeri di jenjang pendidikan paling tinggi, dan dibiayai penuh oleh pemerintah negara selatan itu pula. Tapi ada lebih banyak teman yang memahami kenapa saya gagal. Beberapa bahkan heran karena saya nggak lantas bunuh diri setelah kegagalan saya itu. Betapa tidak, ketika orang lain memanggul salib cuma satu (menurut istilah Kristennya gitu), saya memanggul tiga salib sekaligus: mengikuti program PhD di universitas nomor satu di negara selatan itu, menghadapi konflik selama dan pasca perceraian, dan dipisahkan dari kedua anak lelaki saya.

Sendirian. Di negeri orang. Jauh dari sanak keluarga. Menghadapi 3 hal besar yang memakan energi psikologis luar biasa buat saya.

Nggak heran kalau saya sulit sekali berkonsentrasi dalam membaca artikel jurnal dan menulis draft disertasi. Nggak heran kalau berat badan saya susut 15 kg dalam waktu 2 bulan. Nggak heran kalau tiap kali bangun tidur saya penginnya terus tidur dan kalau bisa, sekalian nggak bangun-bangun. Saya mengalami depresi, sampai harus dikirim oleh pembimbing S3 saya untuk konsultasi ke psikolog kampus, dan hal itu hanya sedikit sekali membantu saya keluar dari depresi.

Untung Tuhan Maha Tahu apa obat yang paling tepat buat saya dan mengirimkan orang-orang penolong. Saya diberi begitu banyak kegiatan diskusi dan demonstrasi sehingga pikiran saya lebih banyak terpakai untuk mengelola kegiatan daripada menghabiskan seminggu tidur-bangun-nangis-bego di dalam apartemen tanpa ketemu satu manusia pun. Bu Endang yang tiap dua tiga hari menelpon saya, bertanya kapan terakhir saya makan (yang bisa dua hari sekali), mengundang makan di apartemen beliau, dan jadi tempat curhat saya. Ramdhan yang selalu riang gembira mengajak saya mengurusi kegiatan diskusi atau sekedar makan ke restoran Indonesia, atau hanya memeluk saya dalam diam sambil mendengarkan keluh kesah saya. Dan semua teman-teman di belahan dunia mana pun yang sabar menanggapi cerita saya lewat Skype dan memantau kabar saya di media sosial. Dan semua teman sesama mahasiswa di rantau yang selalu meminta saya ikut kegiatan ini-itu, sekedar agar saya keluar dari apartemen dan sejenak tertawa bersama mereka.

Dan lucunya, saya dikirimi orang-orang yang curhat ke saya dengan segudang masalah yang harus saya bantu. Sekedar telinga untuk mendengar atau saran untuk dilaksanakan. Seakan-akan Tuhan bilang ke saya, “Hey, Nen, orang-orang ini juga punya masalah lho. Kamu bisa bantu mereka. Masak kamu nggak bisa membantu dirimu sendiri?”

What doesn’t kill you only makes you stronger. When you’re rock bottom, there’s no way but up. Lessons learnt from my failure. 

Tahun ini, Insya Allah, saya akan memulai studi S3 lagi. Tekad saya, kali ini saya akan berhasil menyelesaikannya. Bukan untuk siapa-siapa. Bukan untuk apa-apa. Ini adalah milestone, batu penanda kehidupan saya, dan ujian untuk diri saya sendiri bahwa saya mampu menyelesaikannya.

Maukah Anda mendukung saya dalam perjalanan S3 saya nanti?

Update [31 Juli 2016] Yak, saya lolos dapat beasiswa untuk S3. Makasih untuk semua dukungan teman-teman lewat berbagai saluran (sampai ada yang telpon untuk menyemangati! Makasih, Di!).

 

 

 

 

 

Author: Neny

not your typical mainstream individual. embracing all roles without being confined in one.

8 thoughts on “Gagal, Lalu Memulai Lagi”

    1. Wah, terimakasih sudah berkenan membaca dan berkomentar 🙂

      Allah tahu dan sayang betul saya itu pegangan banget, meskipun sayanya suka bandel hahaha. Dan selalu ada alasan mengapa ada ujian, kemalangan, atau apalah apalah namanya dalam hidup saya.

      Terimakasih doanya untuk PhD saya ya! Jadi semangat untuk segera memulainya.

      Salam kembali dari Salatiga, kota paling toleran se-Indonesia! 🙂

      Liked by 1 person

  1. Hai Ibu…
    Senang sekali membaca tulisanmu, meski isi ceritanya ada yg membuat sedih.
    Tetap menjadi berkat bagi byk orang, ya Bu.
    Miss u,
    Nias

    Like

    1. Terimakasih sudah membaca, Nias. Iya, cerita memang tak selalu indah kan? Tapi buat saya bagus untuk berefleksi atas hidup saya. I’m in a better place now 🙂

      Miss you too!

      Like

  2. Makasih Bu Nen. Kok studi doktoral sedih banget ya. Susah. Teman teman saya juga banyak yang mengundurkan diri. Bahkan ada yang D.O. Saya rasanya juga ga tau bisa lanjut atau tidak di tahun ke 4 saya ini. Saya di dalam negeri sih. Di PTN yang ada di depok itu. Rasanya mual, mabok, mau muntah kalo ngetik disertasi. Belum lagi saya hrs berhadapan dengan penyakit yg saya derita, yang katanya belum ada obatnya ini. Rasanya hidup tak lama lagi. Padahal sekarang saya masih 33 tahun. Tapi menghadapi disertasi dan penyakit berat ini, membuat saya seperti kehilangan gairah. Belum lagi pekerjaan tetap yang hilang karena kesibukan disertasi. Alhamdulillah ada istri yang bekerja full time. Kerja saya serabutan kadang ada job kadang engga. Jadi kadang saya bingung dihadapkan pada kenyataan harus mencari nafkah untuk keluarga, sementara disertasi kagak kelar kelar. Hiks… Mungkin saya hrs mundur disertasi dan kembali lagi nanti (entah kapan) disaat secara finansial saya sudah kuat??? uhuhuhuhuhuhuh hiks hiks

    Like

    1. Ada teman yang bahkan sudah ujian dan harus revisi tapi ditunda kapan-kapan. Intinya sih banyak jalan menuju Roma untuk menyelesaikan studi. Sama-sama semangat yuk, Pak. Semoga kita bisa lolos.

      Like

Share your thoughts!

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.