Tips dan Trik Menghadapi Ujian S3

Seminggu yang lalu, tepatnya tanggal 9 Juli 2021 pukul 16:00 WIB, saya mempertahankan tesis S3 saya di the University of Manchester. Selama 1,5 jam saya menjawab 15 pertanyaan dari satu penguji eksternal (dari salah satu universitas di Inggris, di luar universitas saya) dan satu penguji internal, dengan ditemani oleh dua pembimbing saya (yang cuma menonton saja karena tidak boleh membantu saya menjawab sama sekali).

Kali ini saya mau berbagi proses saya mempersiapkan diri dan menjalani ujian S3, eh, siapa tahu di kalangan pembaca blog saya ada yang butuh, ya kan?

Proses ujian adalah proses yang penting dalam struktur program S3 di Manchester Institute of Education karena kelulusan dari program tidak hanya ditentukan oleh kualitas tesis tertulis tetapi juga apakah si kandidat doktor bisa mempertahankan apa yang ia tulis di tesis. Sehingga, meskipun telah berproses selama 3-4,5 tahun meneliti dan menulis, bisa saja si kandidat dinyatakan tidak lulus karena jawaban dalam ujian (atau istilah kami ‘viva’) tidak memuaskan para penguji. Tiap universitas tentu beda kebijakan soal viva, karena ada misalnya seorang teman yang viva-nya semacam perayaan saja setelah selesai proses menulis selama beberapa tahun (sungguh membuat saya iri!).

Persiapan Viva

Proses persiapan viva saya lakukan bahkan dari tahun lalu, dengan mengikuti dua workshop persiapan viva dari kampus. Dari workshop ini saya mendapat gambaran proses viva akan seperti apa, apa yang dicari oleh penguji, dan kira-kira pertanyaan apa yang biasa ditanyakan di viva. Pertanyaan-pertanyaannya bisa dilihat di gambar di bawah ini. Saya juga meminta beberapa teman untuk membaca tesis saya dan memberikan saya pertanyaan-pertanyaan tentang tesis saya.

Selain itu, setahun terakhir ini saya juga berbicara dengan beberapa teman yang telah menjalani prosesnya untuk mendapatkan beberapa tips. Hasilnya, saya cemas karena ada yang prosesnya lancar dan bahagia, cuma dua jam dengan pertanyaan yang relatif mudah dan hasil yang kalau enggak A1 (tidak ada revisi) atau A2 (revisi minor dengan diberi waktu revisi maksimal 12 minggu). Tapi ada pula teman yang ditanyai sampai 6 jam dengan pertanyaan investigatif dan hasil B2 (alias harus revisi besar dengan waktu revisi setahun). Bahkan ada dua teman yang meskipun ketika memasukkan tesis untuk viva diprediksikan tidak revisi atau revisi minor, ternyata proses viva-nya ‘berdarah-darah’ dengan hasil yang B1 atau B2. Kesimpulan saya, viva itu sebagian juga tergantung dari amal kebaikan kita di masa lalu, karena kita tidak sepenuhnya tahu akan dapat penguji yang lunak atau kejam dan apakah prosesnya akan lancar atau tidak. Meskipun kita bisa memilih dan meminta penguji, tapi terutama untuk yang eksternal, kita kan tidak bisa tahu perangai beliau macam apa. Bisa sih melongok-longok tulisan beliau di masa lalu, tapi ya seperti apa orangnya kan kita nggak tahu ya kan?

Tapi persiapan saya yang paling intens tentu saja mendekati hari viva, yang saya lakukan kurang lebih 3 minggu. Persiapan pertama, mencetak tesis dan membendelnya dengan ring binder. Kenapa perlu dicetak? Karena saya orangnya kinestetik, sehingga saya lebih bisa paham kalau saya mencoret-coret atau menulis ringkasan langsung di kertas. Makanya cetakan tesis saya di satu sisi kertas, supaya kertas belakangnya kosong untuk ditulisi. Selain itu, tesis perlu dibendel ring, supaya mudah dibuka-buka untuk dirujuk ketika ujian.

Setelah tesis tercetak, saya membaca ulang tesis saya dengan teliti sambil menggarisbawahi kalimat yang penting dan menulis rangkuman di sisi kertas yang kosong. Selain itu, saya juga menandai bagian-bagian tesis yang penting (misalnya penanda tiap bab, rangkuman satu bab atau satu bagian) dengan menggunakan post-it notes warna-warni. Tujuannya lagi-lagi supaya mudah saya temukan ketika ditanya. Kira-kira macam gini penampakan tesis saya setelah saya baca secara utuh sekali.

Ini merangkumnya paranoid banget! Semacam over summarized gitu hahahah

Para pembimbing saya juga berupaya membantu saya mempersiapkan viva dengan melakukan apa yang disebut mock viva atau latihan simulasi ujian seminggu sebelum viva. Keuntungan dari latihan ini adalah supaya saya terbiasa untuk menjawab pertanyaan secara verbal. Salah satu kritik pembimbing saya adalah bahwa saya terlalu sering bergantung pada hapalan daripada merujuk pada tesis saya. Mereka bilang, ini kan bukan ujian terhadap memori saya, tapi ujian terhadap pemahaman saya akan penelitian yang telah saya tulis di tesis dan klarifikasi akan hal-hal yang masih belum jelas atau meragukan di tesis saya, sehingga rujukan terhadap tesis diperlukan. Dan saya sangat boleh membuka tesis saya pada saat viva.

Makanya, dari kritik itu, yang saya lakukan adalah melihat pertanyaan-pertanyaan umum viva dari workshop sebelumnya dan pertanyaan dari teman-teman, berusaha memformulasikan poin-poin jawaban, lalu pura-pura menjawab secara lisan (macam orang gila ngomong sendiri gitu hahaha). Dengan begitu saya siap dengan jawaban untuk beberapa pertanyaan umum, terbiasa membuka tesis dengan cepat di bagian tertentu, dan tidak kaku dalam berbicara dan merangkai ide di kepala. Contoh tahap persiapan ini ada di gambar berikut ini.

Selain persiapan yang berkaitan dengan muatan tesis, faktor teknis juga tak kalah pentingnya. Misalnya kesiapan zoom, listrik, dan koneksi Internet, karena ujian saya daring. Selain minta dukungan dari kantor untuk koneksi Internet yang diperbesar, saya juga siap-siap menginstall zoom dan membeli paket data yang cukup di telepon seluler, supaya jika listrik atau wifi kantor mati, saya bisa zoom atau tethering memakai hape. Selain itu saya menyiapkan air minum secukupnya (2 botol seliteran!) dan kudapan supaya tidak dehidrasi dan kelaparan ketika ujian. Saya juga menyiapkan buku tulis dan pulpen untuk mencatat pertanyaan dari penguji. Yang terakhir ini penting sekali, supaya saya memahami baik-baik pertanyaan dari penguji dan ada waktu untuk memikirkan jawabannya. Selain supaya jawaban nyambung dengan pertanyaan, jeda waktu ini penting supaya saya tidak keburu panik mendengar pertanyaan yang susah!

Persiapan lain? Berdoa. Sebanyak-banyaknya. Minta doa. Dari siapa saja. Ujian itu separuh bergantung pada usaha kita menghasilkan tesis yang bagus dan kemampuan kita mempertahankannya itu di depan para penguji dan separuhnya lagi pada ridha dan izin Tuhan sehingga mendapatkan pembimbing yang bagus dan penguji yang lunak. Saya bahkan tidak hanya memposting permohonan doa ini di media sosial saya, tapi juga menyempatkan diri mengunjungi makam ayah dan kakek nenek saya dan berdoa bersama orang-orang kesayangan di pagi hari sebelum ujian.

Walaupun persiapan saya segambreng begitu, apakah saya bisa tenang? Oh, tentu tidak! Kecemasan segunung karena saya merasa tidak cukup waktu untuk bersiap-siap. Sampai dua jam sebelum ujian saya masih berusaha berlatih bicara menjawab. Saya bahkan menangis tiga kali! But, hey, the show must go on! So here we go…

Selama Viva

Saya tiba 1,5 jam sebelum viva di kantor. Membuat kopi di dapur kantor. Merokok dua batang untuk menenangkan diri (yang ini jangan ditiru, tapi boleh diganti dengan kegiatan yang lebih sesuai). Ngemil bengkuang, karena jam saya ujian nanggung mendekati jam makan malam. Menyetel AC. Lalu mulai menata meja supaya memudahkan saya membuka tesis yang setebal bata itu, membuka buku catatan, meraih air minum, dsb. Berdoa (lagi).

Empat puluh lima menit sebelum viva, saya zoom dengan para pembimbing saya. Mereka memberi saya semacam pep talk, terutama karena mereka sudah tahu kecenderungan saya yang tidak percaya diri dengan kemampuan sendiri. Duh, bapak ibu bos saya ini sungguh baik hati!

Tepat jam empat sore, ujian dimulai. Ketua panitia membuka ujian dengan memperkenalkan saya dengan para penguji dan memberitahu kami tentang agihan waktu ujian dan rapat hasil ujian. Ketika beliau bilang sesi tanya jawab akan berlangsung satu hingga 1,5 jam, saya melongo. Iyalah, saya sudah siap-siap empat jam, tapi dibilang maksimal 1,5 jam. Is something wrong with my thesis so they have decided the verdict? Or is my thesis that crystal clear so they will take only a short period of time? Lalu dilanjutkan rapat hasil ujian selama 30 menit di mana saya diminta keluar dari ruang zoom untuk menunggu. Setelah itu, saya akan dipanggil lagi untuk diberitahu hasil dan revisi yang harus saya kerjakan.

Seperti saya bilang, saya diberi 15 pertanyaan. Struktur pertanyaan mereka mengikuti bab per bab dari tesis saya. Ada 4-5 pertanyaan umum yang muncul (kenapa meneliti topik ini, kenapa memakai metodologi ini, kenapa memakai teori ini, apa kontribusi praktis dan teoritis dari penelitianmu). Selebihnya pertanyaan mereka mengklarifikasi/menguji konsep, hasil, istilah yang saya pakai di penelitian saya.

Pola saya menjawab pertanyaan-pertanyaan ini sesuai dengan latihan: saya mendengar baik-baik pertanyaannya, saya tulis poin apa yang ditanyakan, kalau tidak jelas saya tanyakan maksud pertanyaan apa, lalu saya membuka tesis di bagian yang menjawab pertanyaannya, berpikir selama beberapa detik, lalu menjawab secara verbal. Ingat, ambil waktu untuk mendengar dan memahami pertanyaan, catat poin-poinnya, ambil waktu untuk berpikir dan merujuk ke tesis (karena ini bukan ujian ingatan), dan menjawab dengan tenang dan percaya diri. You, and you yourself is the expert of this research topic!

Bodohnya saya, di dua pertanyaan pertama, saya menjawab dengan memakai bahan dari bab lain. Langsung dipotong dong oleh penguji! Lesson learned: menjawab yang fokus dan relevan dengan pertanyaan, jangan melebar ke mana-mana, yang memungkinkan penguji untuk menyerang lebih lanjut atau membuat jawaban jadi tidak jelas.

Ada satu pertanyaan yang membuat saya langsung panik mendengarnya, karena ini soal kenapa saya tidak memakai satu teori lain yang akhirnya tidak saya pakai dalam tesis saya dan terakhir saya membaca soal teori ini adalah tahun pertama saya studi S3. Tentu saya sudah lupa banyak dong ya! Strategi yang saya pakai adalah bullshitting hahahaha. Bukan asal njeplak, tapi saya bertahan dengan teori yang saya pakai di tesis, yang menurut saya lebih baru dan belum banyak yang memakai. Pokoknya saya kekeuh fokus memakai tesis saya sebagai dasar. Selain kemudian di akhirnya saya ingat soal detil teori ini yang memang tidak sesuai dengan tujuan penelitian saya. Lagi-lagi, saya harus tetap menghubungkannya dengan bahan yang ada di tesis.

Dan yang terakhir, saya memperlakukan penguji sebagai manusia. Artinya, saya berusaha mengkomunikasikan pikiran, ide, dan tulisan saya secara jelas dan ramah. Membela diri iya, tapi nggak perlu ngegas dan penuh konfrontasi. Mereka memang menguji saya, tapi mereka bukan mau menjatuhkan saya, menganggap saya pihak yang lemah, atau mau mencari menang argumentasi. Mereka mau mengklarifikasi hal-hal yang kurang jelas atau kurang tepat dalam tesis saya, sehingga menjadi lebih jelas dan lebih baik.

Satu setengah jam berlalu. Saya diminta keluar dari ruang zoom. Reaksi pertama saya? Misuh-misuh pada diri sendiri karena ada jawaban yang (saya rasa) miss atau bodoh. Berdoa panjang pendek memohon hasilnya tidak buruk. Lalu para pembimbing saya mengundang saya ke ruang lain, berusaha menenangkan saya (lagi), membahas beberapa pendapat penguji yang menurut mereka tidak tepat atau sudah selayaknya ada. Tapi sama sekali mereka tidak memprediksikan hasil saya, karena yaaaa itu hak prerogatif para penguji dan mana kita tahu kan ya hasilnya apa?

Setengah jam kemudian penguji internal saya menelpon melalui WhatsApp menyuruh saya kembali. Oh, shit, here it comes..

Penguji eksternal memulai. Beliau bilang, “very thorough answers, very interesting thesis, very well-written, good personal note in the opening and closing”. Penguji internal menambahkan, “enjoyed reading the thesis, the use of translation was superbly done.”

The result: minor corrections, with 4 weeks to revise (A2).

Mendengar komentar dan hasil itu, saya sepertiga kaget, sepertiga tak percaya, sepertiga lega. Tidak bisa bersorak sorai kegirangan di depan kamera tentu saja. Harus menjaga citra dong hahaha. Tapi saya lega. Selama 4,5 tahun berjuang dengan impostor syndrome, selalu tak percaya diri soal kemampuan saya meneliti dan menulis, kemudian mendengar bahwa penelitian saya menarik dan penulisan saya sangat baik, rasanya sungguh di luar dugaan dan melegakan.

Terimakasih, Tuhan.

Di akhir ujian, para penguji memanggil saya dengan Dr. Isharyanti. Rasanya surreal. Sama surreal-nya ketika tak lama kemudian para penguji saya mengemail mengucapkan selamat dan mengabarkan keberhasilan saya kepada para kolega yang lain dengan sebutan yang sama. Finally, after attempting to do PhD in 2011 in Melbourne and failed, giving it another attempt in 2016 in Manchester, I can call myself a PhD. Eh, belum ding, masih perlu merevisi tesis di empat poin yang diberikan oleh para penguji. Tapi garis finish itu tinggal selangkah saja di muka saya.

Semoga pengalaman saya mempersiapkan dan menjalani ujian ini berguna buat kamu ya. Dan semoga kamu yang sedang S3 dilancarkan prosesnya sehingga bisa menyelesaikannya dengan baik.

Author: Neny

not your typical mainstream individual. embracing all roles without being confined in one.

13 thoughts on “Tips dan Trik Menghadapi Ujian S3”

  1. Bertahun-tahun akhirnya keblog mbak Neny lagi, ditulisan bagian ini pula. Selamat ya mbak Nen, perjuangannya sangat panjang. Ikut Seneng bacanya 🙂

    Liked by 1 person

Share your thoughts!

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.