Berpuasa di Sebuah Kampus Kristen Itu…

foto dari setkab.go.id. motto dari saya.

Banyak yang sudah tahu bahwa saya adalah seorang dosen di sebuah universitas Kristen di Jawa Tengah. Tapi tak banyak yang tahu bahwa saya adalah seorang muslim.

Iya, saya memeluk agama Islam 15 tahun yang lalu, setelah 24 tahun beragama Katholik.

Unik banget kan? Seorang yang dulunya beragama Katholik, sekarang beragama Islam, dan bekerja di sebuah universitas Kristen (Protestan). Saya suka bercanda bahwa saya tinggal mengalami agama Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu saja supaya komplit menjadi orang Indonesia 🙂


Yang jelas, di universitas tempat saya bekerja tidak ada perlakuan yang berbeda terhadap dosen yang beragama non-kristiani. Kewajiban mengajar dan tugas-tugas lain sama saja. Gaji sama saja. Yang berbeda hanya kapan menerima THR (yang saya terima saat Natal dan Paskah, dan bukannya saat lebaran) dan saya tak akan  bisa menduduki jabatan struktural (kecuali sama sekali tidak ada orang lain yang kompeten). Saya rasa mahasiswa yang non-kristiani pun tak menerima perlakuan yang berbeda. Paling-paling kewajiban untuk mengambil mata kuliah agama. Tapi mata kuliah agama hanya senilai 3 kredit dari 147 kredit yang harus diambil untuk lulus program S1. Saya bahkan pernah mendengar bahwa agama-agama lain selain Kristen Protestan pun diperkenalkan dalam mata kuliah Agama. Di kampus memang ada kebaktian Senin, tapi tak ada kewajiban baik bagi dosen, pegawai, mau pun mahasiswa untuk hadir. Jadi jangan heran kalau di kampus saya, Anda bakal mendapati banyak mahasiswa yang beragama Islam, atau  yang mengenakan jilbab, karena soal berpakaian pun terhitung bebas di kampus saya. Mau berjilbab atau bercelana pendek bersandal jepit, silakan saja 🙂

Tentu ada kejadian-kejadian unik yang terjadi pada saya yang muslim di kampus saya yang Kristen ini. Contohnya, ketika hari raya kristiani tiba. Yang terjadi adalah bahwa banyak kolega yang tidak satu fakultas dengan saya, atau mahasiswa, atau pegawai di kampus atau bahkan teman-teman di dunia maya yang mengucapkan selamat natal atau selamat paskah. Dan saya akan dengan santai membalas “Selamat Natal/Paskah! Tapi saya nggak natalan/paskahan loh!” Dan mereka akan tersipu-sipu meminta maaf, sementara saya cuma cengengesan 😀

Atau peristiwa-peristiwa selama bulan puasa ini. Ada banyak yang tidak sadar bahwa saya berpuasa. Apalagi segala sesuatu di kampus berjalan seperti biasa seperti layaknya hari-hari lain yang bukan bulan puasa. Kafe kampus tetap buka seperti biasa. Dan di dalam rapat-rapat, kudapan tetap disajikan. Di program pengajaran  bahasa Indonesia untuk orang asing di mana saya turut mengajar dua bulan ini, jam kudapan dan makan siang akan tetap berjalan seperti hari-hari biasa.

Tapi berpuasa itu buat saya urusan niat. Kalau niatnya berpuasa, orang yang makan minum di depan saya pun bukan merupakan godaan. Dan tak perlu pula melakukan pengumuman kepada dunia bahwa saya berpuasa. Itu kan urusan saya dengan Tuhan? Jadi ketika saya harus bertemu dengan mahasiswa bimbingan skripsi di kafe kampus, atau ketika mengikuti rapat dengan kudapan tersaji di depan saya, atau ketika berdiskusi dengan mahasiswa asing selama jam makan siang, saya santai saja tak makan dan tak minum. Mereka akan tetap makan minum seperti biasa.

Saya pun tak berusaha membuat mereka merasa tak enak hati makan minum di depan saya dengan menekankan bahwa saya sedang berpuasa. Jangan-jangan kalau saya membesar-besarkan fakta bahwa saya berpuasa, saya malah membuat amalan ibadah saya jadi tak berarti di hadapan Tuhan karena saya riya’ alias menyombongkan diri bahwa saya mampu menahan diri saya dari makan dan minum. Di tingkat hubungan antar manusia, apa untungnya sih membuat orang merasa tidak enak atau melarang orang untuk melakukan sesuatu yang merupakan bagian kewajaran, bahkan kebutuhan mendasar dalam hidup?

Saya tak berani menyatakan diri sebagai seorang muslim yang paham betul ajaran Islam, tapi setahu saya dalam Islam ada ajaran habluminallah dan habluminannas. Habluminallah adalah hubungan vertikal manusia dengan Tuhan. Habluminannas adalah hubungan horizontal seorang manusia dengan manusia lain. Keduanya menurut saya bukanlah sebuah dikotomi, tetapi keduanya saling melengkapi dan seimbang.

Ketika saya melakukan hubungan horizontal dengan manusia lain, yaitu segala perbuatan baik kepada sesama manusia, tidak merugikan orang lain, tolong menolong dan kasih sayang, itu adalah yang memang diperintahkan oleh Allah kepada manusia. Artinya hubungan baik kepada sesama manusia itu adalah dalam rangka hubungan baik kepada Allah, yaitu melaksanakan perintah Allah. Ketika saya memahami betul bahwa teman-teman saya yang non-muslim membutuhkan makan dan minum di jam makan siang, walaupun saya sedang berpuasa, saya menjalankan perintah Allah untuk mengasihi mereka yang mempunyai kebutuhan fisik mendasar untuk makan dan minum. Kalau saya memaksa mereka untuk tidak makan dan minum hanya demi menghormati saya yang sedang berpuasa, tidakkah itu berarti saya melakukan kejahatan terhadap manusia yang lain yang mempunyai kebutuhan fisik mendasar untuk makan dan minum?

Jadi, silakan makan dan minum dengan tenang tanpa rasa bersalah di depan saya yang sedang berpuasa, Teman-teman yang saya kasihi! Saya akan baik-baik saja, dan akan selalu baik-baik saja dalam puasa saya 😀

Dimuat di Scientiarum tanggal 12 Juli 2014 http://scientiarum.com/2014/07/12/pengalaman-seorang-muslim-di-kampus-kristen/

Author: Neny

not your typical mainstream individual. embracing all roles without being confined in one.

11 thoughts on “Berpuasa di Sebuah Kampus Kristen Itu…”

  1. sama halnya dengan saya seorang sarjana teologi UKSW tapi sama sama ikut menjalankan ibadah puasa selama bulan Ramadhan….hmmmhh..indahnya kebersamaan dalam perbedaan

    Like

  2. Pengalaman yg sama dg sy, kebetulan sy alumni s1 uksw dulu aktif berkegiatan pula dlm berbagai kegiatan kemahasiswaan, sekarang sy bekerja di fakultas, dan sy skrg s2 d uksw juga,.
    Puasa dg segala aktifitas padat layaknya hari2 biasa sudah menjadi makanan sy, tidak ada pemadatan jam layaknya di perusahaan lain. Bahkan saat bermahasiswa dan ikut kegiatan pun sy harus profesional lari kesana kemari disaat puasa tp sejauh ini sy tdk pernah bermasalah dan bahkan menikmatinya
    Sy sependapat bahwa puasa adalah masalah niat pribadi, nggak perduli seberapa banyak makananndidepan kita dan seberapa banyak orang yang makan di depan kita, selama niat kita bulat untuk beribadah insyaAllah semua tdk akan pernah mengganggu 🙂

    Like

Share your thoughts!

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.