Menghapuskan Sejarah, Menghapuskan Eksistensi Kemanusiaan

Saya baru saja menyelesaikan menonton film The Monuments Men (2014). Film yang diangkat dari kisah nyata ini bertutur tentang usaha sekelompok ahli benda seni yang tergabung dalam organisasi Monuments, Fine Arts and Archives (MFAA) bentukan tentara sekutu di perang dunia kedua untuk melindungi benda-benda seni Eropa dari kerusakan perang dan penjarahan tentara sendiri untuk dijadikan suvenir, serta dari keinginan Hitler untuk menguasai semua benda-benda tersebut demi nafsu megalomaniak-nya untuk membangun museum bagi dirinya sendiri.

Pertanyaan besar dari banyak orang pada waktu tim ini dikirimkan ke tengah berkecamuknya perang adalah apakah benda-benda mati ini layak diselamatkan sementara begitu banyak nyawa yang terampas akibat perang? Apakah lebih layak menyelamatkan lukisan Monalisa dibandingkan menyelamatkan nyawa jutaan orang Yahudi di kamp-kamp konsentrasi? Lagi pula, sangat sulit untuk melindungi patung Madonna karya Michelangelo yang dipajang di dalam sebuah gereja di kota Bruges, Belgia, yang mengalami bombardir oleh tentara sekutu. Bayangkan saja perjuangan mereka untuk berkompromi dengan pasukan yang hendak membombardir sebuah kota. Atau usaha mereka melacak ribuan artifak seni yang secara sistematis dirampas oleh tentara Nazi Jerman dan kemudian kehilangan beberapa ribu yang lain karena siasat bumi hangus Jerman.

Yang lebih mencengangkan bagi saya, ketika saya mulai membaca-baca tentang hal ini, adalah bahwa museum-museum di Eropa bahkan sudah bersiap-siap ketika perang dunia kedua ditengarai sudah akan terjadi. Mereka mulai membuat daftar benda-benda seni mereka yang paling penting, memindahkannya ke lokasi yang lebih aman, dan memperkuat struktur bangunan agar tahan terhadap pemboman. Belum lagi usaha-usaha dari lembaga-lembaga di luar museum, misalnya gereja-gereja atau kolektor-kolektor pribadi yang mempunyai karya seni penting, untuk memindahkan atau bahkan menyembunyikan karya-karya tersebut supaya tidak jatuh ke tangan Nazi Jerman yang memang secara masif dan sistematis melakukan penjarahan terhadap karya-karya seni di daerah yang mereka duduki. Bahkan beberapa kota di Eropa yang mempunyai begitu banyak bangunan bersejarah dan karya seni penting, misalnya Paris dan Roma, memutuskan untuk menyatakan kota mereka sebagai “open city” alias kota terbuka yang tidak dipertahankan oleh militernya, agar tentara Jerman tidak menyerang dan menghancurkan kota-kota ini.

Ucapan Frank Stokes dalam film ini menyentuh saya luar biasa:

You can wipe out an entire generation, you can burn their homes to the ground and somehow they’ll still find their way back. But if you destroy their history, you destroy their achievements and it’s as if they never existed. That’s what Hitler wants and that’s exactly what we are fighting for.

Terjemahan bebasnya adalah: Anda bisa memusnahkan satu generasi, Anda bisa membakar rumah mereka hingga rata dengan tanah, namun mereka masih bisa bangkit lagi. Tapi jika Anda menghancurkan sejarah mereka, Anda menghancurkan pencapaian-pencapaian mereka, seakan-akan mereka tidak pernah ada. Itulah yang Hitler inginkan dan itulah yang kita lawan.

Saya lantas terpikir tentang benda cagar budaya (BCB), yang di dalamnya termasuk juga bangunan bersejarah di kota saya, kota Salatiga. Dari 114 bangunan BCB yang tercatat di daftar BCB atas hasil pelacakan Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kota Salatiga di tahun 2011, saya dengar sekarang hanya tinggal 80-an saja yang masih tersisa. Informasi ini saya dengar dari Pak Eddy Supangkat, seorang pemerhati BCB di Salatiga, ketika kami sedang melakukan diskusi publik tentang keberadaan BCB Ex-Kodim di jalan Diponegoro.

Kita sedang menghancurkan sejarah kita. Kita sedang menghancurkan pencapaian-pencapaian kita. Seolah-olah kita tidak pernah ada.

Kalau dalam situasi perang dunia kedua yang lebih carut marut dan serba mustahil situasinya begitu, berbagai pihak begitu hirau akan keberadaan benda-benda bersejarahnya, mengapa dalam kasus BCB di masa kini yang relatif lebih mudah melindunginya tanpa harus takut kejatuhan bom dan ditembak tentara musuh, kita begitu tidak perduli?

Buat saya, benda-benda bersejarah termasuk bangunan, adalah saksi sejarah dan identitas sebuah masyarakat. Kota Paris, misalnya, punya Menara Eiffel dan Monalisa. Saya rasa setiap penduduk kota Paris dan Roma akan dengan bangga bilang bahwa orang berkunjung ke kota mereka salah satunya adalah karena ingin melihat kecantikan kotanya dengan berbagai bangunan yang bersejarah dan karena ingin melihat berbagai patung, lukisan, dan artifak seni yang memukau di kota mereka. Ketika tinggal di Melbourne, saya sangat menikmati duduk-duduk di bangku di muka State Library of Victoria karena bisa menikmati salah satu bangunan tua yang anggun dan yang menjadi penanda kota Melbourne. Lalu saya akan berfoto di muka bangunan tersebut dan dengan bangga memajangnya di akun media sosial saya karena yang beginian hanya ada di luar negeri, dan tidak di negeri sendiri. Foto itu adalah penanda sejarah saya tentang identitas kota Melbourne.

Institut Roncalli, Salatiga. Circa 1979

Salatiga pernah punya bangunan-bangunan semacam ini, yang sangat elok untuk dilihat dan punya kenangan sejarah yang kuat. Pernah masuk ke Institut Roncalli di jalan Diponegoro? Masuklah ke dalamnya dan Anda akan tercengang-cengang melihat kemegahan bangunan utama dan empat kubah di sudut-sudutnya. Sebelum dimiliki oleh yayasan Katolik, bangunan ini dibangun selama tahun 1921-1925 oleh seorang pebisnis kelas internasional berkebangsaan Tionghoa bernama Jun Eng. Bukan hanya karena bentuk bangunannya yang menandai sejarah arsitektur pada jaman itu, bangunan ini juga bersejarah karena ini merupakan satu-satunya bangunan mewah yang dimiliki orang bukan Belanda di jaman itu.

Terminal Bis Taman Sari, Salatiga. Circa 1960s

Atau tengoklah foto-foto terminal bis Taman Sari. Bangunannya berarsitektur art deco, bertingkat dua, dengan semacam teras tanpa atap. Bayangkan melayangkan pandang ke arah selatan di mana gunung Merbabu berada. Alangkah menyenangkannya melihat pemandangan gunung yang cantik selama menunggu bis kita tiba untuk membawa kita ke kota lain. Belum lagi ketika mendengar cerita-cerita bahwa di belakang terminal bis itu dulunya adalah sebuah taman kota, lengkap dengan tugu dan kebun binatang. Tempat pacaran yang sungguh romantis dan tempat nongkrong yang sungguh sejuk bukan?

Buat saya, Salatiga itu adalah kota yang cantik, berhawa sejuk, dan mendatangkan ketentraman karena usianya yang sudah 1264 tahun. Semacam nenek yang sudah sepuh yang menua dengan cantik dan beraura bijak hingga mampu mendatangkan ketentraman ketika kita cucunya berbincang dan bercengkrama dengan beliau. Akan sangat sayang apabila cucu-cucu saya kelak tidak menemukan kecantikan, kesejukan, dan ketentraman yang serupa ketika bertempat tinggal atau mengunjungi Salatiga. Bahkan saya pun sudah tak lagi sepenuhnya merasakan aura yang serupa dari Salatiga.

Anda pun tentu tak mau bukan tinggal di kota yang tidak cantik, sejuk, dan nyaman lagi?

Jadi, sebelum bangunan-bangunan bersejarah nan cantik serta taman-taman kota yang menyejukkan itu hilang, mari kita sama-sama berupaya untuk menjaga dan merawatnya. Mungkin saya dan Anda bukan siapa-siapa, tidak punya jabatan untuk mengeluarkan segala perijinan mengenai peruntukkan dan pemanfaatan bangunan serta taman itu. Tapi saya percaya akan kekuatan sekelompok individu untuk mempengaruh pemegang jabatan dalam membuat kebijakan yang maslahat bagi masyarakat.

Anda percaya itu juga bukan?

Gambar dan informasi diambil dari http://salatiga-photo-archives.blogspot.com/2009/09/institut-roncalli.html dan http://salatiga-photo-archives.blogspot.com

Author: Neny

not your typical mainstream individual. embracing all roles without being confined in one.

4 thoughts on “Menghapuskan Sejarah, Menghapuskan Eksistensi Kemanusiaan”

Share your thoughts!

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.