Konser Guns N’ Roses di Jakarta: Sebuah Mimpi dan Berkat Menyata

Nothing beats live music. And skillful musicians. Ever! Begitu saya menulis di twitter saya ketika tengah berada di konser Guns N’ Roses (GNR) di Mata Elang International Stadium (MEIS) Minggu siang (16 Desember). Memang, sensasi musik di panggung dengan manjaan tata suara yang mantap dan tata panggung yang gemerlap, ditambah lagi dengan permainan musik yang ciamik itu jauh lebih mantap daripada sekedar mendengarkan musik lewat earphone yang seadanya.

Ketika saya mendapat kabar Rabu siang (12 Desember) lewat telpon bahwa saya adalah kandidat pemenang kuis twitter radio Geronimo FM Jogjakarta dan Travel4Party untuk nonton GNR gratis dengan fasilitas akomodasi dan transportasi gratis, saya deg-degan setengah mati mengharap bahwa saya yang akan kepilih jadi pemenang. Kuisnya gampang banget sebenarnya, cuma diminta menyebutkan satu orang teman yang pingin banget saya ajak ke konser GNR. Saya menyebutkan dua orang teman yang saya tahu suka GNR dan memposting twit saya itu dengan menyebutkan twitter Geronimo (@geronimofm) dan Travel4Party (@travel4party) dengan tagar #GeronimoQuiz. Mengirim twit pun saya tidak puluhan atau ratusan. Cuma tiga twit. Ya saya pengin banget nonton dengan gratisan dong, itu wajar saja. Tapi nggak sampai segitunya sampai posesif mengirim. Istilah kata, saya rata air. Mengharap banget, enggak; pesimis banget, enggak juga. Supaya kalau menang tidak takabur, kalau tidak menang tidak putus asa. Tapi saya akui ketika saya diberi tahu bahwa saya salah satu kandidat, saya sempat menelpon seorang teman dengan setengah histeria hihihihi.

Dannnnnnn, cerita selanjutnya sudah bisa ditebak. Sorenya saya membaca nama twitter saya (@nenyish) disebutkan sebagai pemenang kuis dan tentu saja saya bersorak sorai setengah mati di depan laptop. Senang luar biasa! GNR itu adalah salah satu band yang kondang di jaman saya SMA. Bahkan dulu setiap latihan band, band kami memakai lagu Sweet Child O’ Mine sebagai lagu pemanasan karena ada banyak bagian di lagu itu yang solo sehingga cocok untuk menyetel alat musik. Saya sudah membayangkan bahwa menonton mereka secara langsung di panggung akan lebih sensasional daripada mendengarkan mereka di kaset.

Persiapan saya cukup sederhana: mendengar ulang lagu-lagu GNR dan menyiapkan transportasi ke dan akomodasi di Jogja, karena kami akan bertolak dari kota itu. Dari beberapa lagu GNR, saya membangun pengharapan akan beberapa lagu yang pingin banget saya saksikan dan dengarkan di konser. Transportasi dan akomodasi di Jogja cukup mudah bagi saya karena kebetulan saya cukup sering mondar-mandir ke kota itu untuk berbagai urusan.

Setelah sehari sebelumnya diundang ke Geronimo FM untuk taklimat (briefing) soal apa, gimana, dan bagaimana nantinya kami di Jakarta, hari Sabtu pagi kami bertolak ke Jakarta. Ada empat orang yang pergi siang itu: saya, Izzan (pemenang kuis GNR), Prita (penyiar/reporter Geronimo FM), dan Helly (Sales & Marketing Manager Geronimo FM). Saya senang banget karena rekan seperjalanan saya asyik-asyik. Izzan, mahasiswa jurusan bahasa Jerman di salah satu universitas di Jogja, adalah seorang gitaris band dan sangat menanti-nantikan menonton GNR setelah 2 tahun yang lalu ia beruntung menang kuis untuk menonton mantan gitaris GNR Slash di Surabaya. Meski pendiam, Izzan bisa sangat lucu dengan ekspresi polosnya. Prita, penyiar Geronimo, pertama terkesan serius. Tapiiiiiiii ternyata dia gilaaaaaaaa sekali dan sangat baik hati. Mbak Helly yang paling senior di antara kami juga asyik. Beliau akan nonton Sting yang malam itu rencananya akan manggung juga berbarengan dengan GNR. Dan saya sempat iri karena saya juga suka Sting!

Sesampai di Jakarta, kami dijemput oleh Diaz dari Travel4Party untuk dibawa ke hotel kami di hotel Harris Suites di FX Senayan. Hotel ini strategis letaknya karena berseberangan dengan lapangan D Senayan, tempat di mana konser GNR rencananya Sabtu malam itu akan diselenggarakan. Hotel ini juga menjadi satu dengan pusat perbelanjaan FX Senayan, sehingga kami memutuskan untuk makan siang dulu sebelum check-in.

Sedang asyik makan siang di restoran Foodism, tiba-tiba datanglah berita yang mengkhawatirkan lewat twitter: konser GNR ditunda! Yang lebih menambah khawatir adalah berita lewat twitter yang disampaikan oleh Humas Polda Metro Jaya itu tidak menyebutkan hingga kapan konser itu akan ditunda karena alasan cuaca dan keamanan artis. Kami terheran-heran dengan alasan tersebut, karena cuaca Jakarta Sabtu itu cerah sekali dan bertanya-tanya apa yang dimaksud dengan keamanan artis. Belum ada kejelasan, saya dibuat tambah khawatir dengan beberapa pesan twitter dari teman-teman yang mengabarkan penundaan itu. Saya juga memikirkan soal penundaan transportasi dan penambahan malam menginap di Jakarta yang tentu akan berdampak pada situasi finansial saya. Apakah tetap akan ditanggung? Atau kami harus membayar sendiri?

Dengan sigap, Mbak Helly menghubungi promotor Indika meminta kejelasan berita soal penundaan konser, lalu menghubungi Travel4Party dan maskapai penerbangan untuk mengatur akomodasi dan transportasi kami. Alhamdulillah, berkat kesigapan Mbak Helly, tiket pesawat bisa dipindahkan ke hari Senin dan masa tinggal kami di hotel diperpanjang. Setelah membaca berita simpang-siur di beberapa media lewat twitter, akhirnya promotor memberikan keterangan kepada media bahwa konser ditunda hingga Minggu siang jam 13.00 dan dipindahkan ke Mata Elang International Stadium (MEIS) di Ancol dikarenakan panggung yang sudah berdiri sejak Jumat di lapangan D Senayan dianggap tidak aman (karena Jumat seharian terguyur hujan) untuk artis manggung. Huffft, lega rasanya karena masih bisa tetap nonton!

Proses check-in di hotel Harris Suites agak lambat karena kamar kami belum siap, walaupun sudah sangat lewat dari jam check-out para tamu. Bahkan setelah kami check-in Izzan sempat harus menghabiskan waktu 2 jam di kamar saya dan Prita karena kamarnya belum siap. Belum lagi amenities yang disediakan di kamar hanya untuk 1 orang, padahal jelas-jelas kamar kami adalah kamar dengan tempat tidur twin (dua tempat tidur). Walaupun harus diakui, penataan interior hotel menarik dan pemandangan dari kamar kami di lantai 45 ke arah Jalan Sudirman dan kompleks Gelora Bung Karno Senayan memukau. Saya memilih menghabiskan Sabtu malam dengan melihat-lihat pertokoan di FX Senayan dan kemudian bertemu dengan seorang teman yang sudah 20-an tahun tidak bertemu (Halo, Indra!) Berbicara dengannya sungguh mencerahkan dan menyadarkan saya betapa saya beruntung dikelilingi teman-teman yang sejiwa dan sepikiran.

Hari konser tiba! Setelah melakukan perjalanan dari Senayan ke Ancol selama kurang lebih 2 jam (dengan mengalami macet di pintu masuk Ancol tentu saja!) kami tiba di MEIS pukul 12.30 WIB. Kali ini saya pergi bersama Izzan, Prita, Farid dan Dhedhek. Kami masih harus mengantre untuk menukarkan voucher konser menjadi tiket. Kami mendapat tempat di Festival A dengan harga tiket 1,1 juta. Selain itu ada pula tiket VIP dan Festival B. Untuk ukuran Indonesia kedengarannya harga tiket 1,1 juta itu terbilang mahal, tapi kalau dibandingkan dengan beberapa konser yang saya hadiri di Melbourne, harga ini boleh terbilang sama saja (sebagai pembanding harga tiket NKOTBSB yang saya tonton awal tahun ini adalah AUD 100). Proses antre masuk ke stadium terbilang lancar, walaupun udara tentu saja panas karena diadakan siang hari bolong. Untung lokasi stadium di tepi pantai sehingga rasa panas sedikit tertanggulangi hembusan angin dari laut. Di mana-mana kami melihat fans GNR berbusana serba hitam dan tentu saja ngerock (beberapa saya lihat bersepatu boots! Dan saya menyesal tidak memakai sepatu boots). Karena GNR adalah band yang terkenal di tahun 80-an dan 90-an, mayoritas penonton adalah yang berusia di kisaran 30-40 tahun. Kami sempat diwawancarai live lewat telpon oleh Radio Geronimo FM. Jelas Izzan dan saya tidak bisa menyembunyikan rasa antusias kami akan menonton!

Kami masuk agak sedikit terlambat sehingga GNR sudah memainkan 4 lagu, termasuk Welcome to the Jungle yang sebenarnya sangat dinanti-nantikan Izzan. Begitu masuk, saya langsung terbuai dengan tata suara yang memang mantap. Saya salut pada promotor yang dalam situasi waktu mepet bisa membangun panggung yang spektakuler dengan tata suara yang yahud. Sebagai informasi, MEIS ini malam sebelumnya dipakai oleh Sting untuk konser. Bayangan saya, promotor cuma punya waktu dari tengah malam sampai jam 9 pagi untuk membangun ulang panggung. Di dalam stadium, kami mendapat tempat di depan panggung bagian belakang, sehingga agak sulit untuk melihat aksi GNR di panggung, tapi bantuan 3 TV monitor di panggung sangat membantu visual (dan membantu saya untuk memotret close-up).

Dua hal negatif yang paling sering dilontarkan kepada saya ketika menyatakan akan menonton konser GNR adalah bahwa usia Axl Rose sang vokalis GNR yang sudah tidak muda lagi sehingga kualitas suaranya dikhawatirkan sudah menurun dan bahwa band GNR ini bukanlah “the real GNR” tapi “Axl Rose and friends” karena anggota asli GNR tinggal Axl saja. Sehingga banyak teman saya yang menyatakan malas untuk menonton konser GNR di Jakarta kali ini.

Namun dua hal negatif tersebut sama sekali tidak terjadi di konser kali ini. Axl Rose memang secara fisik telah menua, dengan kerut di wajah dan perut yang membuncit, tapi dari kualitas suara saya sama sekali tidak melihat penurunan. Suaranya persis terdengar seperti di album yang saya dengarkan sebelum konser. Memang sih, beberapa kali dia beristirahat ketika salah satu anggota bandnya main sendirian (soal ini, memberikan kesempatan pada tiap anggota bandnya untuk main sendiri, menurut saya juga ada fungsi strategis yang lain selain memberi kesempatan Axl mengistirahatkan vokalnya), tapi secara umum untuk ukuran penyanyi gaek, kemampuannya menyanyikan puluhan lagu dalam waktu 3,5 jam sungguh memukau.

Soal bahwa GNR yang sekarang adalah sekedar Axl and Friends, Axl Rose menjawabnya dengan memberi kesempatan setiap anggota bandnya untuk memainkan lagu sendirian, selain juga bersolo dalam beberapa lagu yang dinyanyikan Axl. Ini untuk menjawab keraguan bahwa anggota band GNR yang sekarang kemampuannya di bawah rata-rata. Richard Fortus dan Ron “Bumblefoot” Thal misalnya, memutuskan untuk bermain gitar dan menyanyi sendirian. Sementara gitaris DJ Ashba dan keyboardist Chris Pitman bermain secara instrumental untuk menunjukkan kemampuan tehniknya bermain musik. Dengan begitu, penonton bisa melihat dan mendengarkan sendiri kemampuan masing-masing personel GNR yang sekarang. Walaupun lagu yang dimainkan tidak familiar di telinga penonton, tapi saya mendapati bahwa penonton memberikan apresiasi terhadap permainan mereka dengan bertepuk tangan riuh ketika ada bagian-bagian tertentu dari solo mereka yang ciamik.

Secara umum, apresiasi penonton pada GNR meriah, terutama pada lagu-lagu GNR yang terkenal atau menduduki tangga lagu Billboard tahun 80-an dan 90-an. Saya sendiri puas ketika mereka memainkan lagu-lagu yang saya kenal. Sweet Child O’ Mine tentunya, serta You Could be Mine, Patience, November Rain, Paradise City, Night Train. Mereka juga memainkan lagu-lagu yang kurang familiar buat saya macam Out ta Get Me, Rocket Queen, Estranged, Backplane. Tapi yang paling bikin saya terharu luar biasa adalah ketika Bumblefoot memainkan melodi Indonesia Raya! Pertamanya, ia hanya bernyanyi solo dan penonton mendengarkan dengan sopan. Tiba-tiba ia memainkan melodi yang familiar dan ternyata itu adalah Indonesia Raya! Penonton langsung berteriak dan spontan ikut menyanyi dan ada perasaan haru yang bikin saya hampir menangis ketika ikut bernyanyi. Indonesia Raya selalu jadi lagu yang menggetarkan buat saya untuk dinyanyikan di mana saja karena liriknya yang begitu patriotis, tapi menyanyikan itu dengan iringan GNR itu dua kali jauh lebih mengharukan dan membanggakan (ketika menonton ulang rekaman youtube di bawah ini, saya masih terharu mendengarnya!) Salut buat GNR yang dengan serius mempelajari Indonesia Raya untuk memuaskan penonton Indonesia. Kalau seorang artis luar negeri belajar mengucapkan “terima kasih” atau “selamat malam” untuk menyapa penonton konsernya, saya rasa itu sudah biasa (dan memang Axl juga mengucapkan “terima kasih” dalam bahasa Indonesia), tapi mempelajari lagu kebangsaan negara tertentu sebelum konser dan kemudian memainkannya ketika konser, itu menunjukkan si artis memang betul-betul mempersiapkan diri untuk memuaskan para penggemar yang bersusah payah menonton konsernya.

Ketika akhirnya Axl mengakhiri konser, rasanya sayang sekali untuk mengakhiri menonton konser yang teramat profesional dari GNR. Pegal dan capeknya kaki berdiri selama 3,5 jam tidak terasa. Tapi konser harus diakhiri, dan saya boleh bilang, saya beruntung bisa menonton aksi mereka, terlebih lagi karena saya menonton gratisan 🙂 Ini adalah salah satu mimpi dan anugrah yang terwujud dalam hidup saya. Terima kasih, Geronimo FM dan Travel4Party yang memberi saya kesempatan untuk menonton salah satu band favorit saya. Terima kasih kepada Izzan, Prita, Dhedhek, dan Farid yang menjadi teman seperjalanan dan teman menonton yang asyik.

Oh, hampir lupa, kalau ada yang mau bikin kuis untuk nonton Jason Mraz, atau Maroon 5, kasih tahu saya ya? Siapa tahu saya bisa menang lagi #ngarep.

Oh ya, foto-foto selama perjalanan, bisa dilihat di tautan Google Plus ini.

Author: Neny

not your typical mainstream individual. embracing all roles without being confined in one.

5 thoughts on “Konser Guns N’ Roses di Jakarta: Sebuah Mimpi dan Berkat Menyata”

Share your thoughts!

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.